MUHAMMADIYAH LAMONGAN SELATAN, BUTUH AKSI SERIUS
Dakwah tidak mengenal kata henti. Karena dakwah adalah ruh. Dakwah terkait erat dengan jiwa. Jiwa selalu dinamis, bukan hitungan menit, tapi setiap desah nafas kita. Mempersempit dakwah hanya sebatas di pentas, podium, mimbar, masjid akan mengkerdilkan makna dakwah yang lebih luas.Tidak semua persoalan selesai hanya sebatas ceramah.
Dibutuhkan kerja dakwah yang lebih kongkrit dan sistematis. Itu hanya bisa dilakukan oleh pelaku yang mempunyai kepedualian waktu, fikiran dan tenaga. Kecil harapan, kalau hanya mengandalkan dari rapat ke rapat, apalagi rapatnya mingguan, untuk bisa menyelesaikan problem dakwah.
Perjalanan safari Ramadhan Majelis Tabligh yang dilakukan selama 2 kali di cabang Sambeng dan Ngimbang, sebagian baru bisa memotret apa dan bagaimana harus melangkah.
Muhammadiyah Lamongan Selatan (Bluluk, Sambeng, Ngimbang, Sukorame), tidak sekedar minus SDM tapi juga minus kreatifitas.
Perbincangan Tim Safari dalam mobil, yang penuh dengan canda dan tawa tidak mengurangi bobot obrolan, mulai dari persoalan intimidasi mayoritas, perebutan masjid Muhammadiyah Katar, Ngimbang, pengusiran dai di Sukorame, intervensi penguasa dan kurangnya pelaku pelaku dakwah.
Penulis, “pendatang baru” di majelis Tabligh lebih banyak mendengar. Kehadiran Bapak Ghufron (anggota PDM), dalam satu mobil semakin memperkaya khazanah dakwah, kisah heroik majelis tabligh sebelumnya menjadikan jiwa merinding. Terasa belum apa apa berbuat.
Suasana penuh khidmat dan persaudaraan sangat terasa, ketika kami dijamu buka bersama di rumah tokoh Muhammadiyah H. Maksum.
Tim cyber Dakwah yang dikomandani majelis Infokom, kayaknya harus mengurangi jatah tidur (hehe). Kita patut bersyukur “prajurit” majelis ini digawangi darah muda, yang agresif dan gesit. Kami berharap agarwww.muhammadiyahlamongan.com, tidak sekedar memuat berita, setelah dibaca tidak berbekas. Tapi harus menjadi media “provokasi” bagi pimpinan.Menyadarkan dari nostalgia, membangunkan dari rutinitas.
“Majelis Tabligh itu ibarat anak panah, yang siap meluncur ke mana saja. Menembus hutan belantara, menghancurkan batu cadas”, begitulah motivasi ketua majelis Tabligh, ustadz Masroin.
Kalau TV bisa menggunakan remote, tapi tidak dikenal dalam medan ini, mereka butuh personal aproach. Pelaku dakwah di sana membutuhkan sharing dan diskusi untuk menguatkan. Tidak juga sambil lalu (kalau dibutuhkan), untuk itu perlu rumusan jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Walaupun tidak (belum) ada dokumen tertulis, mendengarkan cerita capaian periode yang lalu cukup menjadi solusi. Sehingga periode sekarang paham apa yang akan dilanjutkan, dikembangkan dan dilakukan.
Kata kunci dari obrolan obrolan lepas teman teman tabligh adalah SINERGITAS. Tidak ada lembaga, majelis dan AUM yang berdiri sendiri, semua harus terikat dalam gerak. Jangan sampai kita melihat ada salah satu badan pembantu pimpinan yang sempoyongan dan lunglai bergerak sendiri. Semisal, detik ini kita masih punya PR untuk mengurai dan menyelesaikan sengketa masjid di desa Katar, Ngimbang, yang bersertifikat muhammadiyah, tapi diduduki kelompok lain. Maka majelis terkait cepat bersigap.
Di ranting Mragel, Sukorame, sejak peristiwa pengusiran mubaligh, terjadi kekosongan guru ngaji. Sementara cabang setempat “vakum”., dan masih banyak lagi.
Ternyata, kalau terus diurai, seakan tiada ujung tugas dakwah ini. Memang seperti itulah hakekat amar makruf nahi munkar.
Jam menunjukkan 22.30 wib, kami melanjutkan perjalanan pulang. Fisik kami berpisah, tapi jiwa dan fikiran kami tetap menyatu. Menyatu dan berpadu dalam “mega proyek” dakwah.
Terima kasih para ustadz, kyai di tim rihlah ; M. Ghufron, Masroin, Khozin, Afandi, Farhan, Syaifudin Abdillah, Irfanudim, Tamam, Suudi Mukran, Kuspan dan Ikfi Zaenal.
Penulis, Mohamad Suud, Sekretaris Majelis Tabligh PDM Lamongan.