Muhammadiyah Lamongan Berkemajuan

Ustadz Menjawab : Batas Aurat Wajah Seorang Perempuan

tanya jawab seputar fiqih

Pertanyaan :

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Tolong dijelaskan apakah di bawah bagian dagu wanita yang biasa kelihatan ketika memakai jilbab termasuk aurat? Syukran atas jawabannya.

Julianti (Disidangkan pada Jumat, 29 Jumadilawal 1441 H / 24 Januari 2020 M)

Jawaban :

Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.

Terima kasih atas pertanyaan Saudari, mudah-mudahan jawaban kami ini bisa memberi tambahan ilmu yang bermanfaat. Sebelum menjawab pertanyaan saudari, kami uraikan terlebih dahulu tentang pengertian aurat.

‘Aurah, sebagaimana dikutip dari kamus Lisaan al-‘Arab karya Ibnu Mandzur pada Juz 1/3166, menurut bahasa adalah setiap aib dan cacat cela pada sesuatu dan sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan). Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu bagian tubuh yang menjadikan seseorang malu, baik dari laki-laki yaitu dari bagian bawah pusar sampai lutut, dan untuk perempuan seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan (lihat Mu‘jam al-Musthalahat wa al-Alfazh al-Fiqhiyyah karya Mahmud ‘Abdurrahman ‘Abdul Mun‘im, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2010.

Dari pengertian di atas diketahui bahwa aurat laki-laki adalah bagian tubuh dari bawah pusar sampai lutut. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw,

عَنْ أَبِي مُوسَى، بِنَحْوِهِ وَزَادَ فِيهِ عَاصِمٌ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ قَاعِدًا فِي مَكَانٍ فِيهِ مَاءٌ، قَدِ انْكَشَفَ عَنْ رُكْبَتَيْهِ أَوْ رُكْبَتِهِ، فَلَمَّا دَخَلَ عُثْمَانُ غَطَّاهَا [رواه البخاري].

Dari Abi Musa, dengan semisalnya ‘Ashim menambahkan (diriwayatkan), sesungguhnya Nabi saw itu pernah duduk di suatu tempat berair, kedua lutut atau satu lutut beliau tersingkap, lalu ketika tiba-tiba Usman masuk, beliau langsung menutup lututnya [HR. al- Bukhari].

Sedangkan  aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut ini.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ، دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ، فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: يَا أَسْمَاءُ، إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْه [رواه أبو داوود].

Dari ‘Aisyah r.a. (diriwayatkan) bahwa Asma’ binti Abu Bakar masuk ke tempat Rasulullah saw dengan memakai baju yang tipis, kemudian Rasulullah saw berpaling daripadanya dan bersabda, hai Asma’, sesungguhnya apabila wanita itu sudah sampai masa haid, tidaklah boleh dilihat sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk kepada muka dan kedua tapak tangannya [HR. Abu Dawud dan dikatakan hadis ini mursal, tetapi al-Albani mengatakan hadis ini sahih].

Secara umum, laki-laki dan perempuan mempunyai batasan aurat. Batas aurat ini berlaku bagi laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan dan laki-laki dengan perempuan serta sebaliknya.

Batas aurat antara laki-laki dengan laki-laki adalah dari pusar sampai kedua lutut, sebagaimana hadis Nabi saw,

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ … [رواه مسلم وأبو داوود].

Dari ‘Abdurrahman ibn Abu Sa‘id al-Khudriy dari ayahnya (diriwayatkan) bahwa Rasulullah bersabda, janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain [HR. Muslim dan Abu Dawud].

Batas aurat perempuan dengan perempuan sama seperti batas aurat laki-laki dengan laki-laki, berdasarkan hadis,

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِد [رواه مسلم وأبو داوود].

Dari ‘Abdurrahman bin Abu Sa‘id al-Khudriy dari ayahnya (diriwayatkan) bahwasanya Nabi saw bersabda, janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula perempuan melihat aurat sesama perempuan lain, dan janganlah seoarang laki-laki masuk dengan laki-laki lain dalam satu selimut, serta janganlah seorang perempuan masuk bersama perempuan lain dalam satu selimut [HR. Muslim dan Abu Dawud].

Batas aurat perempuan dengan laki-laki, menurut pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali, auratnya adalah seluruh badan sampai ke kukunya. Keduanya mendasarkan pendapatnya pada tafsir dari surah an-Nur (24) ayat 30 yaitu وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ. Ditafsirkan bahwa kata “zinah” di sini mempunyai dua arti yaitu zinah khalqiyyah dan zinah muktasabah. Menurut pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali wajah dan telapak tangan merupakan bagian daripada zinah khalqiyyah sehingga haram untuk menampakkan wajah dan kedua telapak tangan di depan laki-laki yang bukan mahram.

Sedangkan menurut pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah termasuk aurat. Keduanya menafsirkan ayat tersebut justru merupakan pengecualian apa-apa yang tampak. Artinya, pertama, kebolehan menampakkan wajah dan telapak tangan itu pada saat ada keperluan saja. Kedua, justru wajah dan telapak tangan ini lah yang merupakan perhiasan yang harus tampak (Tafsir Rawai‘ul-Bayan, Juz II/130).

Perintah menutup salah satunya di dalam al-Qur’an surah an-Nur (24) ayat 30-31,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا.

Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada para wanita yang beriman, hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya [QS. an-Nur (24): 30-31].

Pada kata “kecuali yang biasa tampak daripadanya”, maka para ulama berbeda memaknai kata ini. Abu Ishaq as-Suba‘i, dari Abul-Ahwas, dari Abdullah berpendapat bahwa yang dimaksud kata “kecuali yang tampak daripadanya” adalah anting-anting, gelang tangan dan gelang kaki. Sedangkan menurut jumhur ulama memaknai kata “kecuali yang tampak daripadanya” adalah wajah dan telapak tangan saja (Tafsir al-Qur’an al- ‘Azhim, Juz VI / 41). Pendapat jumhur tersebut didasari oleh hadis Nabi riwayat Muslim dan Abu Dawud dari ‘Aisyah di atas.

Mengenai pertanyaan Saudari, apakah bagian bawah dagu termasuk aurat (bagian wajah) atau bukan, perlu dipaparkan terlebih dahulu tentang batas wajah menurut para ulama tafsir berikut ini.

Al-Baghawi, dalam Tafsir al-Baghawi, II/XXI menyebutkan,

قَولُهُ عَزَّ وَجَلَّ: فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ، وَحَدُّ الْوَجْهِ مِنْ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ إِلَى مُنْتَهَى الذَّقْنِ طُولًا وَمَا بَيْنَ الْأُذُنَيْنِ عَرْضًا

Firman Allah “maka basuhlah wajah-wajah kalian”, batasan wajah adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala memanjang sampai dengan ujung dagu dan lebarnya di antara dua telinga.

Sedangkan al-Qurthubi, dalam Tafsir al-Qurthubi,VI, hal. 83 menyebutkan,

وَالْوَجْهُ فِي اللُّغَةِ مَأْخُوذٌ مِنَ الْمُوَاجَهَةِ، وَهُوَ عَضْوٌ مُشْتَمِلٌ عَلَى أَعْضَاءِ وَلَهُ طُولٌ وَعَرْضٌ، فَحَدُّهُ فِي الْطُولِ مِنْ مُبْتَدَإِ سَطْحِ اْلجَبْهَةِ إِلَى مُنْتَهَى اللَّحْيَيْنِ، وَمِنَ اْلأُذُنِ إِلَى اْلأُذُنِ فِي اْلعَرْضِ.

Al-Wajhu secara bahasa diambil dari kata al-muwajahah (berhadap-hadapan), yaitu anggota badan yang memiliki beberapa anggota, memiliki batasan panjang dan lebar; batasan panjangnya adalah dari ujung kening hingga ujung dagu sedangkan lebarnya antara kedua telinga.

Adapun Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, III, hal. 42 menjelaskan,

وَحَدُّ الْوَجْهِ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ مَا بَيْنَ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ، وَلَا اعْتِبَارَ بِالصَّلَعِ وَلَا بِالْغَمَمِ إِلَى مُنْتَهَى اللَّحْيَيْنِ وَالذَّقْنِ طُولًا، وَمِنَ الْأُذُنِ إِلَى الْأُذُنِ عَرْضًا وَفِي النَّزْعَتَيْنِ وَالتَّحْذِيفِ.

Batasan wajah menurut para ahli fikih adalah panjang antara tempat tumbuhnya rambut, kepala gundul tidak dianggap, hingga ujung dagu, sedangkan lebarnya antara kedua telinga.

Mengenai penjelasan para mufassir berkaitan dengan makna wajah, secara lahir ujung dagu adalah termasuk bagian wajah yang boleh terlihat dan bagian bawah dagu adalah termasuk aurat yang harus ditutup. Namun, penafsiran di atas hanya sebatas menjabarkan batas wajah saja.

Penjelasan mengenai pengertian dagu dikemukakan oleh Mahmud ‘Abdurrahman ‘Abdul Mun‘im dalam Mu’jam al-Musthalahat wa al-Alfazh al-Fiqhiyyah, terbitan Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2010, bahwa makna dagu dan batas panjangnya adalah tempat bertemunya dua lihyah (jenggot) yang berada di bawah wajah serta dimutlakkan pada sesuatu yang menjadi tempat tumbuhnya rambut jenggot.

Oleh karena itu, panjangnya dagu adalah sampai batas tumbuhnya rambut seseorang di bawah wajah. Jadi, bawah dagu itu bukan termasuk aurat, karena batas dagu itu adalah sepanjang tempat tumbuhnya rambut jenggot seseorang di bawah wajahnya.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 18 Tahun 2020

0
Share this article
Shareable URL
Prev Post

Puasa, Momentum Merasakan Kehadiran Tuhan

Next Post

Konsep dan Aplikasi Kembali ke Al-Quran dan Sunnah, Metode Tarjih dan Metode Hermeneutika

Read next
0
Share