Muhammadiyah Lamongan Berkemajuan

Konsep dan Aplikasi Kembali ke Al-Quran dan Sunnah, Metode Tarjih dan Metode Hermeneutika

Al Quran

Pertanyaan :

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi SM dan Divisi Fatwa Majlis Tarjih yang dirahmati Allah. Sebagai kader dari pelosok desa tepatnya dari Ranting Muhammadiyah Desa Gemaharjo Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek Jatim sekaligus sebagai pelanggan SM sejak tahun 2009 saya ingin bertanya mengenai Muhammadiyah, antara lain:

  1. Bagimana konsep dan aplikasi doktrin “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah” versi Muhammadiyah, serta bagaimana contohnya untuk era kekinian?
  2. Bagaimana asal mula Muhammadiyah menyepakati menggunakan metode tarjih untuk mengambil suatu hukum? Apakah hasil dari metode selain metode tarjih itu selalu salah bahkan bid’ah?
  3. Bagaimana tanggapan Muhammadiyah mengenai metode Hermeneutika dalam menafsirkan al-Quran?

Demikian pertanyaan dari saya, mohon dijawab dengan jelas. Terima kasih.

Fastabiqul-khairat.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

KM Aji Widodo, Trenggalek, Jawa Timur (Disidangkan pada Jumat, 4 Rajab 1441 H / 28 Februari 2020 M)

Jawaban :

Wa ‘alaikumus salam wr. wb.

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Berikut jawaban dari kami.

Pertama, mengenai konsep dan aplikasi doktrin “kembali ke al-Quran dan as-Sunnah” versi Muhammadiyah berikut contohnya untuk era kekinian. Konsep ar-Ruju ila al-Qur’an wa as-Sunnah ash-Shahihah atau al-Maqbulah dalam Muhammadiyah merupakan spirit bahwa Muhammadiyah dalam mengeluarkan hukum tak pernah lepas dari al-Quran dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung maksudnya ditemukan nash yang menjelaskan hukum perkara tertentu, sedangkan tidak langsung maksudnya ditemukan perkara yang belum ada nash yang menjelaskan  hukumnya. Pada keadaan ini diperlukan ijtihad dengan berbagai metode untuk menentukan hukum yang lain seperti ijmak, kias, istihsan dan lain-lain.

Muhammadiyah juga dikenal sebagai gerakan pemurnian agama (purifikasi) dan pembaharuan (modernisasi) atau dalam bahasa Arab disebut dengan gerakan tajdid. Gerakan purifikasi adalah gerakan pemurnian untuk kembali pada kemurnian agama supaya terhindar dari praktik syirik, takhayul, bid’ah dan khurafatkhususnya dalam bidang akidah dan ibadah. Adapun gerakan modernisasi atau sering disebut juga dengan dinamisasi adalah gerakan pembaharuan pemikiran Muhammadiyah untuk mencari pemecahan atas persoalan yang dihadapi. Gerakan ini secara umum bergerak di bidang muamalah. Dalam  bidang muamalah yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, semua hal dapat dilakukan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Pengertian kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunah tidak menutup kemungkinan dilakukan ijtihad dalam berbagai hal yang tidak disebutkan dengan nash atau dalil qath’i (pasti) dan sharih (jelas), sebagaimana kaidah usul fikih لاَ مَسَاغَ لِلْإِجْتِهَادِ فِيْمَا فِيْهِ نَصٌّ قَطْعِيٌّ صَرِيْحٌ (tidak ada ruang untuk berijtihad dalam hal-hal yang di dalamnya telah terdapat nash yang qath’i dan sharih).

Contoh konkret yang bisa dijumpai pada era kekinian adalah fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor 01/PER/I.1/E/2020 tentang hukum e-cigarette. Muhammadiyah dalam fatwa tersebut mengharamkan rokok elektronik karena perbuatan tersebut sama saja menjatuhkan diri ke lembah kebinasaan dan disebut juga perbuatan bunuh diri dengan perlahan. Firman Allah,

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.

“Infakkanlah hartamu di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” [QS. al-Baqarah (2): 195].

E-Cigarette menurut para ahli medis memiliki paparan uap yang membahayakan diri dan orang lain. Berdasarkan logika qiyaaulawi bahwa keharaman e-cigarette lebih kuat dibanding  rokok konvensional, hal ini disebabkan e-cigarette mengandung zat adiktif dan unsur racun yang lebih membahayakan daripada rokok konvensional.

Kedua, mengenai asal mula Muhammadiyah menyepakati menggunakan metode tarjih untuk mengambil suatu hukum. Hal ini terdapat di dalam buku Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang ditulis oleh Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A., tahun 2018 yang isinya,

Istilah tarjih berasal dari Ilmu Ushul Fiqh. Ar-Razi (Al-Mahsul, t.t., V: 397) menjelaskan, dua hal pokok tentang pengertian tarjih:

  1. Bahwa tarjih itu adalah perbuatan mujtahid.
  2. Bahwa objek tarjih adalah dalil-dalil yang tampak saling bertentangan untuk diambil yang lebih kuat.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa istilah tarjih muncul dari ilmu usul fikih yang merupakan salah satu dari empat solusi untuk menyelesaikan dalil-dalil yang tampak saling bertentangan (ta’arudh al-adillah). Empat solusi tersebut adalah al-jam’u wa at-taufiq (kompromi), nasikh wa al-mansukh (menghapus hukum), tarjih (memilih yang paling kuat), dan tawaqquf (menghentikan pembahasan hukum). Sedangkan dalam perkembangannya, tarjih dalam arti Muhammadiyah mengalami perkembangan makna yakni,

“… tarjih diartikan sebagai setiap aktifitas intelektual untuk merespons permasalahan sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam. Dari situ tampak bahwa bertarjih artinya sama atau hampir sama dengan melakukan ijtihad mengenai suatu permasalahan dilihat dari perspektif Islam.

Adapun tentang hasil dari metode selain metode tarjih itu apakah selalu salah bahkan bid’ah, perlu dipahami bahwa tidak ada satu pun keputusan yang mengatakan bahwa hasil tarjih inilah yang paling benar atau bahkan membid`ahkan yang lain. Perlu diketahui bahwa manhaj Tarjih ini bersifat menyeluruh, fleksibel, fungsional, toleran, terbuka, dan responsif terhadap perkembangan keilmuan dan kemasyarakatan. Hal ini juga ditetapkan dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah pada bagian penutup, yaitu:

  1. Hasil Rumusan Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah ini bersifat toleran dan terbuka. Toleran yang berarti Muhammadiyah tidak menganggap pendapat yang berbeda dengan putusan pemikiran Muhammadiyah sebagai pendapat yang salah. Terbuka, berarti Muhammadiyah menerima kritik konstruktif terhadap hasil rumusan pengembangan pemikirannya asal argumentasinya didasarkan pada dalil yang lebih kuat dan argumentasi yang lebih akurat.
  2. Segala keputusan Majelis Tarjih yang berkaitan dengan manhaj istidlal sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini tetap berlaku. Hal ini juga dinukil dari Suara Muhammadiyah No. 6 / 1355 (1936) halaman 145 yang juga dimuat di setiap terbitan Himpunan Putusan Tarjih dalam penjelasan tentang hal Tarjih pada paragraf ke-6, disebutkan,

“….Malah kami berseroe kepada sekalian oelama soepaya soeka membahas poela akan kebenaran poetoesan Madjelis Tardjih itoe di mana kalaoe terdapat kesalahan ataoe koerang tepat dalilnja diharap soepaya diajoekan, sjoekoer kalaoe dapat memberikan dalil jang lebih tepat dan terang, jang nanti akan dipertimbangkan poela, dioelang penjelidikannja, kemoedian kebenarannja akan ditetapkan dan digoenakan. Sebab waktoe mentardjihkan itoe ialah menoeroet sekedar pengertian dan kekoeatan kita pada waktoe itoe.”

Ketiga, tentang tanggapan Muhammadiyah mengenai metode Hermeneutika dalam menafsirkan al-Quran. Hermeneutika adalah sebuah metode alternatif untuk memahami sebuah teks secara mendalam yang biasanya digunakan untuk penafsiran kitab suci, seperti Injil yang kemudian juga digunakan dalam penafsiran al-Quran. Hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuien, yang berarti “menafsirkan”, atau dari kata benda hermenia, yang berarti “interpretasi”. Selain itu, ada pendapat lain bahwa Hermeneutika berasal dari kata “Hermes”, nama salah satu dewa dalam mitologi Yunani, bahkan ada juga sebagian kalangan yang mengidentifikasikannya dengan Nabi Idris dalam tradisi Islam.

Adapun hadirnya penafsiran al-Quran dengan menggunakan metode hermeneutika tersebut bukan karena hendak menafikan tafsir tradisional dari para ulama tafsir terdahulu, namun hermeneutika digunakan untuk melakukan pembacaan kembali terhadap teks agama yang dimungkinkan secara teologis, ditafsirkan dalam konteks masyarakat modern. Akan tetapi, juga terdapat stigma dari golongan yang kontra dengan penggunaan hermeneutika terhadap al-Quran, mereka beranggapan bahwa hermeneutika tidak pantas digunakan untuk menafsirkan al-Quran karena al-Quran murni kalam Allah yang dijamin orisinalitasnya dan tentunya memiliki sifat otentik dan final. Sedangkan, jika hermeneutika diaplikasikan dalam memaknai bibel, maka hal itu adalah wajar, melihat bibel sudah kehilangan orisinalitasnya sebagai wahyu Tuhan, dengan kata lain sudah menjadi “teks manusiawi”.

Sementara pada Putusan Tarjih Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah dan Pengembangan Pemikiran Islam bagian Muqaddimah tertulis: Pemikiran keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan discourse keislaman dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Masalah yang selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian. Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses triadik/hermeneutis (hubungan kritis/komunikatif-dialogis) antara normativitas din (ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah al-Maqbulah), historisitas berbagai penafsiran atas din, realitas kekinian dan prediksi masa depan. Mengingat proses hermeneutis ini sangat dipengaruhi oleh asumsi (pandangan dasar) tentang agama dan kehidupan, di samping pendekatan dan teknis pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut, maka Muhammadiyah perlu merumuskannya secara spesifik. Dengan demikian diharapkan ruhul-ijtihad dan tajdid terus tumbuh dan berkembang.

Berdasarkan keterangan di atas, menurut hemat kami metode hermeneutika dapat digunakan apabila terdapat masalah yang mengharuskan adanya penyelesaian dengan metode tersebut. Adapun yang harus lebih diperhatikan adalah hasil dari pemaknaan dalam menggunakan metode tersebut. Apa yang dihasilkan tidak boleh bertentangan dengan tujuan utama al-Quran diturunkan, yaitu sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk dapat meniti jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, sebagai penjelas tentang ajaran-ajaran syariat Islam, dan sebagai pemisah antara yang haq dan yang batil.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 19 Tahun 2020

1
Share this article
Shareable URL
Prev Post

Ustadz Menjawab : Batas Aurat Wajah Seorang Perempuan

Next Post

Guru Muhammadiyah Perlu Upgrade

Read next
0
Share