Muhammadiyah Lamongan Berkemajuan

Lima Pelajaran Penting Puasa Ramadlan

 

Oleh
Piet Hizbullah Khaidir, MA.
Sekretaris Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI) Sendangagung Paciran Lamongan.
Ketua Umum DPP IMM Periode 2001-2003

muhammadiyahlamongan.com-Ramadlan adalah salah satu bulan-bulan haram yang di dalamnya masyarakat Asia Tengah umumnya dan umat agama samawi khususnya meyakini ketidakbolehan untuk melakukan perbuatan/tindakan kejahatan dan kekerasan serta perbuatan buruk lainnya. Termasuk di dalamnya adalah berperang.

Namun dalam kaitan perang, sebagai umat beriman, bila diserbu dan diserang dengan maksud penghancuran dan pembumihangusan mereka oleh orang kafir, fardlu kifayah bahkan bisa fardlu ‘ain hukumnya untuk bertahan sampai titik darah penghabisan. Itulah yang terjadi pada peperangan tidak berimbang antara umat Rasulullah Saw dan kuffar Quraisy dalam perang di medan Badar yang terjadi pada bulan Ramadlan.

Di dalam Ramadlan ada syariat puasa. Menurut sejarah, puasa ini disyariatkan sejak tahun kedua hijrah. Sebenarnya puasa sudah menjadi tradisi masyarakat Asia Tengah dan penganut agama samawi. Namun, dalam konteks Islam, puasa menjadi kewajiban yang disyariatkan pada tahun tersebut di atas.

Makna Puasa
Secara bahasa berasal dari kata shama yashumu shawman wa shiyaaman. Bermakna mencegah dan menahan. Yaitu, secara istilah fiqh kemudian berarti mencegah dan menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami isteri dan hal-hal lain yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Itulah yang secara syariat ditegaskan oleh firman Allah Swt dalam QS. 2: 187.

Inti dari definisi ini adalah puasa merupakan madrasah atau tempat penggemblengan untuk belajar menahan diri dari hal-hal yang halal dilakukan dalam waktu yang tertentu, dan selanjutnya mencegah diri dari hal-hal yang haram/buruk di dalam masa puasa dan/atau di luar masa puasa. Maka, meski seolah-olah ungkapan ini benar, ‘Hi, jangan berkata kotor, lagi puasa, nanti puasamu batal’, tetapi perlu dipahami berdasarkan definisi di atas. Dengan kata lain, berkata kotor memang akan membatalkan puasa kita, tetapi bukan hanya karena puasa sajalah kita tidak berkata kotor. Sebagai tindak lanjut puasa, di dalam puasa ataupun di luar puasa, kita tetap harus mencegah diri kita untuk tidak berkata kotor.

Oleh karena itulah, dalam Al-Quran dibedakan implikasi makna shawm dan shiyaam. Shawm adalah mencegah diri dari hal-hal yang terkait ucapan, perilaku hati, dan perbuatan2 lain yang dapat membatalkan puasa; serta terkait dengan perbuatan dan ucapan serta perilaku hati yang harus dijaga agar kita memiliki kategori puasa yang baik dan benar. Adapun shiyam lebih fokus pada makna mencegah dari makan, minum dan hubungan suami isteri yang dapat membatalkan puasa secara lahir.

Istilah shawm dalam makna tersebut terdapat dalam QS. 19: 26, sedangkan istilah shiyam pada QS. 2: 183-187.

Oleh karena itu, makna puasa adalah mencegah dari hal-hal yang membatalkan puasa, dan berlanjut berdampak pada masa di luar puasa Ramadlan.

Lima Pelajaran Penting Puasa Ramadlan

Sebagai madrasah atau tempat penggemblengan, puasa Ramadlan mengajarkan paling tidak lima pelajaran penting bagi pengamalnya terutama. Pertama, Puasa Ramadlan mengajarkan tentang pentingnya istiqamah, keajegan atau konsistensi dan persistensi. Selama Ramadlan, kita disunnahkan dan dilatih untuk melakukan kebaikan-kebaikan secara terus-menerus. Misalnya, kita dilatih dalam bingkai amalan sunnah untuk shalat fardlu selalu berjamaah, qiyamul layl, berupa shakat tarawih serta shalat-shalat sunnah lainnya. Pelatihan kebaikan dalam bingkai sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan tersebut bertujuan agar kita mampu ajeg, konsisten dan persisten dalam melakukan amalan atau program kebaikan apapun. Dengan keajegan, konsistensi dan persistensi ini diharapkan kita dapat mengembangkannya di luar bulan Ramadlan. Tebaran kebaikan sunnah bila setiap kita secara individu mampu menjaga keajegan, konsistensi dan persistensi atau dengan kata lain istiqamah akan melahirkan suatu dampak yang hebat untuk diri kita sendiri, jamaah dan komunitas di sekitar kita.

Kedua, Puasa Ramadlan mengajarkan pelajaran kejujuran. Yang tahu kita berpuasa atau tidak hanya diri kita sendiri dan Allah Swt. Ketika kita masuk kamar mandi, lalu kita minum meski seteguk, yang tahu hanya kita dan Allah. Karena itulah, puasa melatih kita untuk jujur pada diri kita sendiri dan terhadap Allah. Puasa, sebagaimana hadits Nabi Saw., ‘Allah sendirilah yang akan membalas ganjarannya’, karena betapa privasinya ibadah puasa itu. Meski seperti terlihat puasa dan orang tidak tahu kita tidak puasa, tetapi Allah Maha Tahu segala yang tampak dan tersembunyi. Kejujuran dengan demikian merupakan prinsip penggemblengan dalam ibadah puasa.

Kejujuran ini sesuatu yang dahsyat. Sifat yang diagungkan oleg semua peradaban, entah komunitas muslim ataupun non-muslim. Peradaban sebuah negara dalam bisnis, perdagangan, politik, pendidikan, selalu menorehkan kemajuan dan kejayaan jika kejujuran menjadi sokoguru amaliyahnya. Jepang ketika Kaisar Meiji melakukan kebijakan Restorasi Meiji mengandaikan pelibatan dan pelaksanaan kejujuran dan kerja keras yang biasa disebut sebagai integritas terhadap anak-anak muda Jepang dalam masa pendidikan di Eropa dan Amerika. Sekembali dari belajar, mereka membawa kemajuan dan kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang sampai hari ini masih merajai dunia teknologi permobilan. Begitupula di Negara-negara Skandinavia seperti Finlandia dan seterusnya.

Islam itu sederhananya adalah ‘Engkau jujur dalam ucapan dan perbuatanmu’, sabda Rasulullah Saw.

Ketiga, Puasa Ramadlan mengajarkan pelajaran membaca. Tadarrus Al-Quran menandaskan dua hal penting. Membaca itu penting sebagai basis ibadah. Membaca juga sangat penting sebagai basis ilmu pengetahuan dan peradaban.

Keempat, Puasa mengajarkan pelajaran kepedulian dan merasakan kegetiran orang susah secara native. Dengan puasa kita ‘going native’ memasuki ruang-ruang kesusahan dan kesedihan orang-orang miskin, fakir dan yatim. Pengalaman langsung itu diharapkan menjadi empati dan nilai yang melekat dalam diri kita, di masa Ramadlan ataupun di luar Ramadlan.

Kelima, Puasa Ramadlan mengajarkan kita agar selalu mohon ampun kepada Allah Swt. Ada dua makna yang patut diambil dari istighfar ini, yaitu: kita adalah hamba Allah yang lemah dan banyak dosa. Alangkah baiknya bila kita terus berusaha memperbaiki diri kita secara terus-menerus, tanpa kenal lelah dan tidak berhenti dengan kepuasan pencapaian sementara. Kemudian, kita harus merasa tidak lebih baik dibandingkan orang lain. Dengan harapan, kita terus berlomba untuk berbuat kebaikan dan yang terbaik dengan orang lain.

Akhirul kalam, pelajaran puasa Ramadlan di atas hanya dapat diraih dengan keimanan dan hati yang tulus. Maka, ketika ada individu, komunitas, golongan atau orang kuat yang secara sengaja tidak konsisten dan persisten dalam tindakan dan ucapan; tidak jujur dan tidak empati, merasa paling baik, lalu mendeskreditkan orangblain atau kelompok lain, maka kemungkinan besar tidak akan memperoleh anugerah lima pelajaran penting puasa Ramadlan ini.

Mumpung masih tersisa waktu. Dan mudah-mudahan waktu yang sedikit ini justeru menjadi kebangkitan kualitas amaliah kita, mari dimanfaatkan untuk semakin bertaqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah Swt) dan menebarkan kebaikan Ramadlan di manapun kita berada.

Wallahu a’lam.

**

0
Share this article
Shareable URL
Prev Post

Guru Sertifikasi Diwajibkan Mengikuti Baitul Arqom

Next Post

Baitul Arqom Bentuk  Karyawan RSM Lamongan Profesional dan Berkualitas  Mubaligh

Read next
0
Share