Muhammadiyah Lamongan Berkemajuan

Kaderisasi Profetik Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

rislu syuhadi

rislu syuhadi

Oleh : Rislu Mukhtadi

Ketua Umum Pc.IMM Lamongan

Pendahuluan

Sebagai agen perubahan. Mahasiswa yang berarada dalam atmosfer modernisasi. Dewasa ini di tuntut peranya untuk memainkan peranya secarah dinamis dan proaktif, kehadiranya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan ummat islam, baik pada dataran intelektual teoritis maupun praksis.

Ikatan mahasiswa muhammadiyah bukan hanya sekedar proses penanaman nilai – nilai untuk membentengi diri dari ekses negative dari globalisasi, tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai – nilai moral yang telah di tanamkan. Pada proses ber_IMM tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebasan (liberating force) dari himpitan kemiskinan. Kebodohan., keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi (syafi’I ma’arif). Tidak sedikit mahasiswa yang memahami organisasi pergerakan ekstra kampus denga pendekatan formalistic bahwa ruang lingkup kegiatanya berada pada being and event menurut haideger.. Yang kemudian mengarahkan pandanganya pada nalar instrumental.

Dari gaya pemahaman mahasiswa yang masi cenderug bersifat dikotomis yang selama ini terpisah secarah diametral, yakni organisasi yang hanya di pahami secara formal tanpa memberi ruang gerak pada dimensi transendensi, humanisasi dan liberasi. Dalam buku Kuntowijoyo.ilmu sosial profetik. Sehingga dalam memhami sebuah persoalan harus ada pemahaman yang total. Baik itu di organisasi. Pendidikan dan keagamaan karana dari pemahaman yang utuh tersebutlah menjadikan diri kita sebagi manusia yang dewasa.

 

Pembahasan

Profetik berasal dari bahasa inggris prophetical yang mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak beliau melawan setiap penindasan dan ketidakadilan. Dan mempunyai tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Dan tepat menurut Ali Syari’ati “para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan”.

Secara definitif, gerakan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu -dalam rumusan Kunto- seperti hendak memasukan sesuatu dari .luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada. Dia mengatakan: “saya kira keduanya tidak realistik dan akan membuat jiwa kita terbelah antara idealitas dan realitas, terutama bagi mereka yang belajar ilmu sosial barat. Bagaimana nasib ilmu yang belum di Islamkan? Bagaimana nasib Islam tanpa Ilmu?. Dengan ungkapan seperti ini, Kuntowijoyo tidak bermaksud menolak Islamisasi ilmu, tapi selain membedakan antara ilmu sosal profetik dengan Islamisasi Ilmu itu sendiri, juga bermaksud menghindarkan pandangan yang bersifat dikotomis dalam melihat ilmu-ilmu Islam dan bukan Islam.

Secara normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo (alm) didasarkan pada Surar Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Engkau adalah ummat terbaik yang diturunkan/dilahirkan di tengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah”.

Terdapat tiga pilar utama dalam ilmu sosial profetik yaitu; amar ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. nahi munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan. dan tu’minuna bilah (transendensi), dimensi keimanan manusia. Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep; Pertama, konsep tentang ummat terbaik (The Chosen People), ummat Islam sebagai ummat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Ummat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena ummat Islam dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul khairat. Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah. Bekerja keras dan ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah ummat manusia (ukhrijat Linnas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan ummat dalam percaturan sejarah. Pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan an sich tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan. Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran ummat, terutama ummat Islam. Keempat, etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, ummat, kelompok/paguyuban). Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya

Ikatan mahasiswa muhammadiyah  yang sekaligus sebagai bagian dari organisasi kemahasiswa. Secara ideal,ikatan mahasiswa muhammadiyah bertujuan melahirkan pribadi manusia seutuhnya. Dari itu, proses perkaderan ikatan mahasiswa muhammadiyah diarahkan untuk mengembangkan segenap potensi manusia seperti; fisik, akal, ruh dan hati. Segenap potensi itu dioptimalkan untuk membangun kehidupan manusia yang meliputi aspek spiritual, intelektual, rasa sosial, imajinasi dan sebagainya. Rumusan ini merupakan acuan umum bagi proses kaderisasi dari sudut pandang profetik, yang akhir tujuannya adalah pencapaian kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dalam pengertian yang lebih luas, ikatan mahasiswa muhammadiyah  ingin membentuk manusia yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas ke-khalifahan-nya dan terus memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa batas serta menyadari pula betapa urgentnya ketaatan kepada Allah SWT sebagai Sang Maha Mengetahui dan Maha Segalanya. Dalam Surat Al-Baqarah disebutkan pada ayat: 269 yang artinya: ”Tidaklah berdzikir kecuali ulul albab”. Disini, ada proposional antara dzikir dan fikr dalam sebuah cita-cita organisasi . Artinya, hakikat cita-cita organisasi  adalah melahirkan manusia-manusia beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang.

Pada dasarnya tujuan umum ikatan mahasiswa muhammadiyah mengusahakan terbentunya akdemisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai cita cita muhammadiyah. Ada lima sub bagian di lihat dari pendekatan  profetisme , yaitu; Pertama. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Bahwa kaderisasi akhlak adalah jiwa Kaderisasi yang bercorak Islam, dan untuk mencapai akhlak sempurna adalah tujuan kaderisasi yang sebenarnya. Kedua, persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan diakhirat. Kaderisasi profetik menaruh penuh untuk perhatian kehidupan tersebut, sebab memang itulah tujuan tertinggi dan terakhir manusia . Ketiga, persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Islam memandang, manusia sempurna tidak akan tercapai kecuali memadukan antara ilmu pengetahuan dan agama, atau mempunyai kepedulian (concern) pada aspek spiritual, akhlak dan pada segi-segi kemanfaatan. Keempat, menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada kader dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (co-riosity) dan memungkinkan untuk mengkaji ilmu sekedar ilmu. Kelima, menyiapkan kader dari segi professional.

Kaderisasi yang berwawasan kemanusiaan mengandung pengertian bahwa kaderisasi harus memandang manusia sebagai subjek kader. Oleh karena itu, starting point dari proses kaderisasi berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi. kaderisasi yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karena di Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu murni dan teknologi teistik justru membawa malapetaka di abad modern ini, dimana kepribadian manusia menjadi terpisah-pisah di dalam jeratan dogma materialisme yang mengaburkan nilai kemanusiaan. Padahal kaderisasi itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur atau landasan moral-transendensi.

Jika kegagalan kaderisasi dalam rangka memaksimalkan peran profetiknya karena tidak dapat menempatkan manusia sebagai subjek kader dalam setting teologis-filosofis. Jadi bukan sebagai objek kader, yang menurut Paulo Freire dikatakan sebagai konsep bank. Oleh karena itu, kaderisasi harus kembali pada missi profetik, yaitu memanusiakan manusia (Humanisasi), berijtihad / pembebasan (liberasi), dan keimanan manusia (transendensi).

 

Penutup

Kaderisasi pada hakekatnya merupakan pross memanusiakan manusia (humanizing human being). Karena itu, semua treatment yang ada dalam praktek kaderisasi mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah, sebagai mahkluk individu yang khas, dan sebagai mahluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Untuk itu, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses kaderisasi dilaksanakan. Namun demikian, dalam realitasnya banyak praktek yang tidak sesuai dengan missi tersebut.

Kenyataan bahwa proses kaderisasi yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, mekanis, verbalis, kognitif dan misi kaderisasi telah misleading. Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek dan proses kaderisasi steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. kaderisasi (khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan interpretasi dan reorientasi, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek kaderisasi yang selama ini berjalan.

kaderisasi harus dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya. Dengan pengertian ini, semua proses yang menuju pada terwujudnya optimalisasi potensi manusia, tanpa memandang tempat dan waktu, dikategorikan sebagai kegiatan kaderisasi. Sebaliknya, jika ada praktek yang katanya disebut kaderisasi ternyata justru menghambat berkembangnya potensi kemanusiaan dengan berbagai bentuknya, maka ini justru bukan praktek kaderisasi. Hanya saja, harus disadari bahwa memang ada perbedaan metode atau strategi antara satu dengan lainnya, namun mestinya perbedaan tersebut hanya sebatas teknis pelaksanaan, bukan pemaknaan tentang kaderisasi itu sendiri.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Shofan Mohammad“Pendidikan Berparadigma Profetik (Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam)”, IRCiSoD bekerjasama dengan UMG Press, Cet. I , 2004, Yogyakarta
  • Kuntowijoyo (Alm),“Muslim Tanpa Masjid”, Bandung: Mizan, 2001
  • Banawi Imam,“Segi-segi Pendidikan Islam”, Al-Ikhlas, 1987, Surabay
0
Share this article
Shareable URL
Prev Post

Kwarda HW Lamongan Memberikan Penghargaan Kepada Qobilah Berprestasi

Next Post

Bila Para Ketua Ortom Cangkrukan di Warung Kopi, Apa Yang Dibahas

Read next

Komunikasi 24 Jam

Macetnya komunikasi bisa berakibat fatal. Keenganan berkomunikasi menyebabkan lambanya distribusi keputusan…
Mohammad suud

Persahabatan

Sangat mungkin kata dalam Bahasa Indonesia persahabatan ini berasal dari kata (kalimat) Bahasa Arab…
maslahul-falah
0
Share