Oleh M. Nur Ali Zulfikar
Kontroversi wacana kebijakan menteri Pendidikan dan Kebudayaan (mendikbud) Prof. Muhadjir Efendhy, menjadi perdebatan yang panjang dikalangan akdemisi, praktisi pendidikan dan juga kalangan guru, rencana kebijakan tersebut disikapi pro dan kontra, pihak yang kontra mengatakan bahwa dengan adanya Full Day School (FDS) akan mengurangi waktu bermain anak, juga mengurangi kebersamaan antara anak dan orang tua. Sedangkan pihak yang pro mengemukakan bahwa FDS merupakan salah satu cara yang baik untuk membentuk karakter anak didik, lebih dari itu juga akan menjadi control dari tindak kekerasan anak, mengingat banyaknya kasus kekerasan seksual yang dilakukan anak akhir-akhir ini.
Muhammadiyah yang memiliki ribuan lembaga pendidikan baik sekolah dasar maupun menengah, lalu bagaimana dengan penerapan FDS di sekolah muhammadiyah? Apakah FDS menjadi kebiasaan di muhammadiyah? Apakah FDS sudah direalisasikan sebelum adanya wacana kebijakan tersebut? Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kiranya penting diungkap pengalaman penulis mengalami dan mengamati lembaga pendidikan muhammadiyah.
Sebagai salah satu organisasi masyarakat yang berasaskan islam mendidik anak agar berkarakter, berakhlak, dan beriman adalah menjadi keniscayaan bagi muhammadiyah, ciri khas pendidikan di muhammadiyah adalah selain mengajarkan kecerdasan ilmu pengetahuan (IQ), kecerdasan emosional (EQ) juga diajarkan kecerdasan spiritual (SQ) tidak heran jika di sekolah muhammadiyah banyak muatan-muatan tambahan yang mampu menjadikan siswa dewasa dan berkarakter, yang mengantarkan siswa menguasai tiga pedoman kehidupan tersebut.
Ekstrakurikuler banyak diberikan dilembaga pendidikan muhammadiyah seperti kepanduan Hizbul Wathan, beladiri Tapak Suci, merakit Robot, music, teater, qiro’ah, desain grafis, karya ilmiah remaja (KIR) dan bentuk yang lain. Jadi tidak heran dan kaget jika siswa yang sekolah di muhammadiyah setiap hari pulang sore hari, karena memang mereka diajak untuk melakukan aktivitas positif, sekaligus mendukung perkembangan hidupnya di masa depan.
FDS dan Upaya hadapi Tantangan degradasi moral
Prilaku tidak bermoral seringkali muncul dari akibat bebasnya pergaulan, kurang adanya control keluarga, dan di era digital native ini, tekhnologi menjadi tantangan terbesar bagi dunia pendidikan, karena dari mulai taman kanak-kanak anak didik sudah menggunakan hanphone berteknologi canggih (android), hal tersebut kalau tidak ada pengawasan dari orangtua dan guru maka yang terjadi adalah salah pengunaan, yang harusnya buat alat bantu pembelajaran tetapi digunakan untuk game secara terus menerus, dan yang lebih bahaya, setiap hanphone yang terkoneksi dengan internet, awalnya hanya untuk game tetapi ternyata muncul fitur-fitur iklan berbau pornografi.
Menurut Muhadjir Efendhy, dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi ‘liar’ di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja, (cnnindonesia.com 08/08), keliaran yang dimaksud Muhadjir diatas lebih mengarah pada dua hal pertama adalah akibat tekhnologi, karena dengan tekhnologi anak didik akan mampu mengakses segala yang tersedia, baik yang positif dan negative. Kedua, adalah pergaulan bebas, tidak adanya batasan dalam pergaulan akan mengakibatkan anak didik terjerumus ke hal-hal negative, seperti seks bebas, narkoba, miras, tawuran, balapan liar dll. Sehingga perlu adanya pengawasan penuh dari orang tua dan guru, salah satu cara mengurangi hal tersebut dengan kebijakan FDS.
Seluruh element harus menunggu hasil kajian mendalam mendikbud terkait program tersebut, bukan menghakimi sebelum diputuskan dan disepakati. Menurut kajian dan pengamatan penulis, sudah seharusnya segenap bangsa Indonesia mendukung program tersebut, Karena demi terwujudnya generasi yang unggul dan berakhlakul karimah.
Muhammadiyah harus mendukung dan melanjutkan sistem FDS tersebut, karena telah disadari bahwa dengan anak didik tetap dalam pengawasan guru di sekolah, akan memperbaiki dan mengurangi kemungkinan hal-hal negative terjadi. Ada beberapa indicator yang harus dipenuhi oleh Muhammadiyah, apabila ingin terus melaksanakan FDS.
Pertama, bagaimana sekolah mampu mengajak anak didik untuk menggali potensi yang dimilikinya, lebih dekat ke intelektual, emosional (skill), ataukah spiritual sehingga anak didik tidak akan pernah merasa tersiksa jika sehari penuh berada di sekolah, namun akan nyaman dan betah.
Kedua, sekolah harus mampu memberikan pelajaran pemanfaatan ilmu pengetahuan dimana siswa diajak untuk memanfaatkan ilmu yang telah diterima di pagi harinya untuk dijadikan rujukan dalam mengobservasi lingkungan social sekitar sekolah, dari situ anak didik akan mengetahui dan melek social. Seperti dampak buang sampah sembarangan, minum-minuman keras dll.
Ketiga, ada pembekalan bagi siswa untuk memproteksi hal-hal negative seperti situs-situs yang tidak dikehendaki dalam hanphone ketika menggunakan internet, pergaulan bebas, tract dijalanan dll. Karena bukan tidak mungkin ketika sepulang FDS anak didik akan kembali liar tanpa arah.
Pendidikan karakter dan pendidikan akhlak tidak akan pernah tercapai dengan hanya mempelajari aspek kognitif saja tetapi harus ada perpaduan dengan aspek psikomotorik, karena kedua aspek tersebut akan menjadikan keseimbangan hidup anak didik dalam belajar dan bersosial, tugas sekolah muhammadiyah adalah merealisasikan hal tersebut.