Divisi Fatwa MTT PWM Jawa Tengah
Para petinggi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan tampaknya mulai menyadari bahwa akhlak itu penting dalam membekali anak didik untuk masa depan mereka, sekaligus masa depan bangsa Indonesia. , tetapi di sisi lain perilakunya sangat memprihatinkan. Kejahatan korupsi yang pembicaraannya sudah membosankan, anarkhisme yang selalu dimunculkan oleh kelompok masyarakat tertentu ketika meluapkan ketidaksenangannya dalam unjuk rasa, menunjukkan bahwa bangsa ini mengidap penyakit yang berbahaya. Hal ini mengingatkan kita akan pesan Islam yang paling utama bahwa inti ajaran agama adalah berbuat baik (al-birr), yang wujudnya akhlak mulia. Sebuah Hadits shahih menyatakan:
Dari Nawwas bin Sim’an al-Anshari, katanya, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan tentang dosa. Baginda menjawab, “Baik adalah akhlak mulia, dan dosa adalah sesuatu yang terlintas dalam dadamu (untuk hendak dikerjakan) dan engkau merasa tidak enang bila orang lain mengetahuinya (bila itu akan dikerjakan)” (H.R. Imam Muslim, al-Turmudzi, Ahmad, dan al-Darimi).
Hadits lain menyebutkan: Dari Abu Darda‘, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat timbangannya (di Hari Kiamat) dibanding khlak mulia” (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, al-Turmudzi, dan Ahmad).
Kebaikan yang berupa akhlak mulia merupakan landasan dan modal utama dalam menata kehidupan umat manusia. Namun, mengapa akhlak mulia itu mudah dikatakan, tetapi tidak mudah dipilih untuk dilakukan? Berakhlak mulia itu berat, karena kita harus mau berbuat sesuatu untuk kesenangan orang lain. Tidak sah disebut akhlak mulia kalau tidak ada pengurbanan untuk orang lain. Hanya orang yang sadar akan balasan Allah yang mau berkorban untuk sesama.
Nabi Muhammad saw diutus menyiarkan agama Islam berhadapan dengan masyarakat jahiliyah, sebuah masyarakat yang harus ditata akidah dan akhlaknya. Masyarakat jahiliyah bukan tidak bisa membedakan yang baik dari yang buruk. Mereka tahu bahwa berbuat curang itu jelek dan jujur itu baik, kejam itu jelek dan sabar itu baik. Kendati akal dan perasaan dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi kekuatan nafsu membawa mereka berbuat sesuatu yang menguntungkan diri sendiri walaupun merugikan orang lain.
Untuk meningkatkan kesejahteran dan kekayaan, masyarakat jahiliyah dalam transaksi dagang melakukan kecurangan timbangan. Begitu merebaknya kecurangan ini hingga Allah memperingatkan agar kegiatan semacam ini dihentikan (Q.s. Al- Muthaffifiin: 1-6). Sebenarnya, mereka mengerti bahwa kecurangan itu merugikan pihak lain dan tidak baik. Tetapi karena curang itu diyakini sebagai jalan pintas meningkatkan penghasilan, maka mereka memilihnya. Dengan kecurangan mereka cepat kaya.
Masyarakat jahiliyah menyadari bahwa saling menolong dan menjaga persaudaraan dan keutuhan masyarakat itu perlu karena hidup sendirian tidak mungkin. Masyarakat Arab dikenal dermawan, apalagi kalau mendapatkan pujian, kedermawanannyasemakin bertambah. Hanya, kerukunan yang mereka usahakan sebatas pada kelompoknya. Kelompok lain ditempatkan sebagai musuh. Bila anggota kelompok atau klannya dianiaya, apalagi dibunuh oleh kelompok lain, mereka menuntut balas yang lebih besar dari kerugian yang diderita. Itu sebabnya ada ayat tentang qishash agar tuntutan atas kerugian yang diderita dapat “dibayar” secara adil, tidak melebihi kadar kesalahannya. Kata maaf tidak berlaku bagi masyarakat jahiliyah. Permusuhan antarsuku dapat berkepanjangan karena persoalan sepele karena kata maaf kurang disosialisasikan.
Dalam dakwahnya, Rasulullah melalui banyak surat dalam Al-Qur’an menunjukkancontoh bahwa sombong dan berbuat kerusakan seperti yang diperankan oleh raja Namrud terhadap Nabi Ibrahim dan Fir’aun terhadap Nabi Musa adalah akhlak yang tercela dan akan mendapatkan balasan, bukan hanya di akhirat tetapi juga di dunia. Kekuasaan, menurut kisah yang disampaikan oleh Rasulullah kepada umatnya, membuat orang menjadi angkuh dan berbuat kerusakan serta permusuhan. Kisah seperti itu dimaksudkan menjadi cermin kehidupan sosial umat Muhammad saw, baik yang bertemu langsung dengan Nabi maupun yang hidup dalam kurun waktu sesudahnya agar dihindari. Maka sekarang kalau ada orang atau kelompok yang menunjukkan keangkuhannya serta suka merusak diberi label jahiliyah modern.
Rasulullah juga menghadapi komunitas masyarakat yang diberi label munafik. Inti munafik adalah berbeda antara yang dikatakan dengan yang diperbuat. Bila mereka berkata hendak membangun, sebenarnya hendak merusak; bila mereka mengajak menjaga keutuhan dan kebersamaan, sebenarnya mereka ingin menciptakan suasana konflik dan pertikaian; bila mereka berkata “jujur saja saya telah memberi sesuatu”, maka sebenarnya mereka tidak jujur. Betapa sulit Rasulullah menghadapi jenis masyarakat yang rusak akhlaknya seperti ini. Karenanya, Allah perlu menurunkan surat khusus Al-Munaafiquun.
Dalam ajaran Islam, berjuang membangun masyarakat dari jahiliyah menuju masyarakat berperadaban harus dilandasi kemuliaan akhlak. Begitu pentingnya akhlak ini sehingga dalam sebuah Hadits disebutkan pernyataan Rasulullah:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda, “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (H.R. Ahmad).
Hadits lain berbunyi: Dari Abdullah ibn Amr ra, katanya, Rasulullah itu tidak kotor dan tidak melakukan perbuatan keji, dan pernah berkata, “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang bagus akhlaknya” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Bangsa Indonesia begitu menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 terus berbenah, melakukan pembangunan untuk mencapai kemakmuran yang berkeadilan. Semua presiden, apakah itu Soekarno, Soeharto maupun para presiden di Era Reformasi, menjanjikan cita-cita itu. Hanya saja, masyarakat H A D I T S merasa apa yang dijanjikan belum pernah tercapai. Perjuangan yang begitu mulia itu selalu saja ternoda oleh perilaku tak terpuji dari kalangan penentu kebijakan, mengakibatkan kerugian negara yang luar biasa besarnya. Perilaku tak terpuji merambah ke semua lapisan. Sulit menemukan lembaga yang terbebas dari perilaku tak terpuji. Di sana-sini masyarakat yang kecewa melakukan unjuk rasa, dan selalu saja diwarnai dengan anarkisme dan bentrok dengan aparat. Maju-mundurnya suatu bangsa tidak lepas dari keberhasilan mendidik generasi mudanya. Apa yang terjadi sekarang adalah hasil pendidikan tempo dulu. Ketika tekad memasukkan akhlak dalam kurikulum, persoalannya bagaimana aplikasinya. Pendidikan akhlak bukan hanya mengelola aspek kognitif saja, tetapi yang lebih penting lagi adalah aspek psikomotorik dan afektiknya. Inisiatif mengedepankan akhlak mulia di dunia pendidikan, setidaknya, menandakan awalyang baik untuk memetik buahnya kelak, melahirkan mental pemimpin yang tidak korup, mementingkan kebersamaan, jujur, adil, sabar, dan iman yang kokoh. (sumber : muhammadiyah.or.id)