Oleh : Maslahul Falah [ Wakil Sekretaris PCM Laren ]
Proses ijtihad akan terus berlangsung dan tidak ada yang berhak menutup atau menyatakan membuka pintu ijtihad. Karena memang pintu ijtihad tidak pernah ditutup dan tertutup. Pemikiran yang berkaitan dengan ijtihad ini hidup dalam Muhammadiyah. Identitas Muhammadiyah dinyatakan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 4 ayat 1 bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumberkan pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Oleh sebab itu, Muhammadiyah senantiasa mengembangkan kehidupan dan tradisi ijtihad dalam nafas gerakannya.
Ijtihad dalam Manhaj Tarjih dijelaskan sebagai mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu. Dalam kerangka makna ijtihad ini, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid dituntut untuk senantiasa tanggap dan responsif dalam setiap persoalan keumatan dalam dinamika dan perubahan sosial manusia dan kemanusiaan. Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, gerak langkah Muhammadiyah, khususnya dalam bidang hukum Islam, dirumuskan. Dengan kata lain, Majelis ini menjadi penguat bagi legitimasi hukum sosial bagi Muhammadiyah dalam memandu dan mendidik umat sesuai dengan cita-cita yang didesain Muhammadiyah.
Hasil penelitian Fathurrahman Djamil (1995:73) menunjukkan bahwa Muhammadiyah, termasuk di dalamnya Majelis Tarjih, pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul terdahulu, namun di sana-sini terdapat “modifikasi” atau lebih tepat lagi disebut kombinasi seperlunya. Di samping itu, menurut Asjmuni Abdurrahman (2002:16). Muhammadiyah menggunakan pendapat-pendapat para Imam Madzhab sebagai pertimbangan dalam mendapatkan hukum Islam. Yaitu dengan menggunakan kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu, yang didasarkan pada jiwa Al-Quran dan As-Sunnah. Seperti mengambil kaidah-kaidah ushuliyah dan juga kaidah-kaidah fiqhiyyah.
Sebagai kekuatan dalam poros “ke-Islaman” dalam Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid memproduk pemikiran hukum Islam. Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam Kata Pengantar untuk Buku Fatwa-Fatwa Tarjih : Tanya Jawab Agama 5 yang cetakan keempat Desember 2008, menguraikan bahwa ada tiga macam produk Tarjih, yakni : (1) Putusan Tarjih;; (3) Wacana.
Pertama, Putusan Tarjih. Putusan Tarjih merupakan keputusan resmi Muhammadiyah dalam bidang agama-bukan keputusan Majelis Tarjih- dan mengikat organisasi secara formal (walaupun dalam praktik terkadang diabaikan dan banyak warga Muhammadiyah tidak memahaminya atau bahkan tidak mengetahui beberapa butir penting darinya, demikian catatan dalam hal Putusan Tarjih ini dari Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini).
Kedua, Fatwa. Fatwa merupakan jawaban Majelis Tarjih terhadap pertanyaan-pertanyaan masyarakat seputar permasalahan yang memerlukan penjelasan bagi segi hukum. Sifat fatwa ini tidak mengikat, baik tehadap organisasi maupun anggota sebagai perseorangan. Bahkan fatwa tersebut dapat dipertanyakan dan didiskusikan.
Ketiga, Wacana. Sedangkan wacana adalah gagasan atau pemikiran yang dilontarkan dalam rangka memancing dan menumbuhkan semangat berijtihad yang kritis serta menghimpun bahan-bahan atau stock ide mengenai berbagai permasalahan actual dalam masyarakat. Wacana wacana Tarjih tertuang dalam berbagai publikasi Majelis Tarjih seperti Jurnal Tarjih dan berbagai buku yang diterbitkan.
Dalam kajian literatur fikih-ushul fikih, produk Tarjih setara dengan produk pemikiran hukum Islam yang sudah lahir, baik oleh lembaga resmi maupun perorangan. Produk Tarjih yang berupa putusan Tarjih dan Fatwa dibahas, dimunaqasyahkan dan diputuskan secara jama’i (ijtihad kolektif). Dengan demikian ada kekuatan lebih yang dimiliki oleh putusan Tarjih dan fatwa untuk dijadikan pegangan umat atau warga Muhammadiyah, khususnya. Demikian pula produk Tarjih lainnya yang sangat mungkin akan terus dilahirkan untuk gerak ber-Islam melalui Muhammadiyah. Namun demikian, seluruh warga Muhammadiyah tidak sepatutnya taklid buta terhadap produk Tarjih tersebut. Artinya harus ada upaya untuk belajar dan mempelajari secara sistematis-produktif, termasuk “cara membacanya”, yang sesuai dengan konteks zaman dan tempat. Wallahu a’lam.