Sepulang dari Australia pada tahun 2007, saya memang punya tekad untuk melanjutkan studi S-3 tak terlalu lama setelah kelulusan S-2. Namun saya menyadari itu tidak mudah. Hidup dalam komunitas akademik yang memiliki peraturan, dan tentu saja sejumlah kalangan dengan kepentingannya masing-masing tentu kita harus lebih banyak mengedepankan kompromi. Tetapi saya berkeyakinan, studi lanjut adalah sebuah keniscayaan. Hal ini mestinya dibuka secara kompetitif saja, barangsiapa yang berkeinginan sekolah dan memiliki akses untuk membiayai sekolahnya itu (misalnya melalui beasiswa), harusnya diberikan kebebasan. Keinginan kuat itu mendorong saya untuk mengirim lamaran ke berbagai universitas di berbagai negara.
Di antara yang saya ingat, saya mengirim lamaran ke Amerika, Denmark, Jerman, Australia, Singapore dan Turki. Apa yang ada dalam fikiran saya saat itu adalah “pragmatisme”. Maknanya, universitas dan negara mana yang paling awal menerima saya dengan beasiswa, maka itulah yang akan saya datangi. Dalam rentang waktu itu, memang berbagai universitas telah menyatakan menerima saya sebagai mahasiswa S-3. Namun sayang, penerimaan itu tidak diiringi dengan ketersediaan beasiswa. Tentu tidak mungkin saya menerimanya. Penantian panjang itu berakhir pada April 2010, ketika saya menerima surat elektronik dariNational University of Singapore (NUS) yang memberi kabar gembira bahwa saya diterima sebagai mahasiswa S-3 dengan beasiswa selama empat tahun. Saya gembira bukan kepalang.
Namun, rupanya bukan hal yang mudah untuk berangkat S-3 meskipun saya telah memperoleh beasiswa. Berbagai rintangan saya hadapi. Sehingga proses keberangkatan ke National University of Singapore pada tahun 2010 seperti berbalut drama. Dengan segala kontroversi, saya memutuskan tetap berangkat. Saya tahu, banyak suara negatif mengiringi keberangkatan saya ke Singapore. Tetapi tekad kuat untuk studi lanjut mengalahkan segalanya. Ada pula yang menyebut ini adalah egoisme. Maka, pertengahan Juli 2010 saya melangkahkan kaki dengan tekad bulat untuk menempuh studi S-3 di NUS. Saya tinggalkan Kota Malang dan keluarga untuk pencapaian sebuah keinginan. Namun, tak lama setelah saya menandatangani kontrak dengan NUS, sebuah surat elektronik dari Australia saya terima. Surat dari seorang profesor yang pernah melakukan joint research dengan saya itu mengabarkan bahwa ada beasiswa untuk saya, jika saya berkeinginan untuk melanjutkan studi di Australia di bawah bimbingan dia. Dengan berat hati saya katakan bahwa saya telah menerima tawaran NUS untuk beasiswa S-3, dan karena itu, tidak mungkin saya menerima tawaran dari Australia itu. Ada nada kecewa yang saya tangkap dari balasan surat sang profesor. Saya tentu bersedih. Tetapi pilihan telah saya tetapkan.
Memulai kehidupan baru di negara asing tentu bukan hal mudah. Setapak demi setapak tahapan kehidupan akademik dan sosial di Singapore saya tempuh. Singapore adalah sebuah tempat yang begitu padat dan ramai. Tetapi seringkali saya merasakan kesepian di tengah keramaian itu. Saya tak merasa terlalu sulit untuk menyesuaikan diri dengan iklim akademis di NUS. Karena studi S-2 di Australian National University(ANU) telah memberikan saya bekal yang sangat berharga. Secara akademis, saya merasa tak ada perbedaan serius antara belajar di NUS dan ANU. Namun secara sosial, saya merasa begitu sulit untuk menyesuaikan diri dengan kultur, cara hidup dan kebiasaan masyarakat Singapore. Inilah salah satu tantangan yang harus saya hadapi selama masa studi.
Di tengah segala situasi ini, saya menikmati perjalanan studi di NUS. Saya seperti tak percaya bahwa saat itu saya telah menjadi seorang mahasiswa S-3. Namun, pada saat yang sama, saya juga demikian terlena dengan fasilitas akademik yang memanjakan. Paruh pertama semester pertama saya lalui. Ketika libur tengah semester tiba, saya tak menyiakan kesempatan itu menengok keluarga di Malang.
Maka, pada suatu pagi buta, saya naik taksi menuju Bandara Changi Singapore. Di bandara, sambil menunggu jam terbang, saya membuka surat elektronik. Ah…! Sebuah surat elektronik dari Kedutaan Turki masuk ke surat elektronik saya. Bergegas saya membaca surat itu dengan rasa penasaran dan hati berdebaran. Surat elektronik itu adalah kabar gembira. Kedutaan Besar Turki di Jakarta memberi kabar bahwa saya diterima S-3 dengan beasiswa selama lima tahun di sebuah universitas di Turki.
Kabar itu membuat saya terombang-ambing. Haruskah saya meninggalkan NUS yang baru saya jalani setengah semester? Ataukah saya harus tetapkan saja tekad untuk studi di NUS dan menolak tawaran dari Turki? Ini bukan soal mudah. Turki adalah sebuah negara sekaligus kawasan di mana jejak-jejak peradaban Islam tergores dan tertorehkan.
Tentu studi di negara yang memiliki peran besar dalam sejarah Islam adalah salah satu mimpi besar dalam kehidupan saya. Tetapi, haruskah saya meninggalkan NUS? Saya kabarkan keresahan ini kepada seorang teman. Jawabannya semakin menggusarkan:“It is not too late to leave NUS. You are still in very early stage,” demikian komentar seorang teman. Sementara teman lain lagi menyebut: “You are not the first to leave NUS in the midst of study, if you choose to depart to Turkey.” Komentar ini merujuk kepada fakta bahwa beberapa tahun lalu ada seorang mahasiswa S-3 asal Indonesia di NUS yang memutuskan untuk tidak melanjutkan studi.
Kepada beberapa senior yang tengah menempuh studi di berbagai kampus di luar negeri, saya juga meminta nasihat mereka. Seorang teman mengatakan: “Ini pilihan sulit, Boy.” Dan komentar itu semakin menggusarkan saya. Berangkat ke Turki? Meninggalkan Singapore? Elokkah sikap saya, jika saya harus memutuskan kontrak dengan NUS di tengah jalan? Berbagai pertanyaan ini berkecamuk dalam fikiran saya. Namun ada satu hal yang menjadi pertimbangan utama saya: keluarga. Maka saya segera membuat kontak dengan mahasiswa Indonesia di Turki, dan mengajukan pertanyaan dasar: “Apakah mungkin membawa keluarga untuk studi di Turki?” Jawaban yang saya terima sangat tegas dan terang. Seorang aktivis mahasiswa Indonesia di Turki mengabarkan bahwa selama ini belum pernah ada mahasiswa Indonesia yang membawa keluarganya ke Turki. Jika itu terjadi, maka biayanya sangat mahal dan tidak akan tertutupi oleh beasiswa. Dari titik inilah, lalu keputusan saya ambil. Studi di NUS tetap saya lanjutkan, dan saya lupakan mimpi belajar di negara yang terletak di antara dua benua itu.
Mengikuti ketetapan hati itu, saya lalu membawa keluarga ke Singapore. Ini tentu bukan pilihan mudah, tetapi meninggalkan keluarga dan berpisah dengan mereka, juga jauh lebih sulit. Di sinilah sebuah fase sejarah dalam kehidupan kami berlangsung. Mula-mula kami shocked, karena menempati sebuah ruangan yang sangat sempit dengan biaya sewa yang cukup tinggi. Maka, demi menjadikan uang yang kami miliki cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, selama masa tinggal di Singapore, kami berkali-kali berpindah rumah, demi mendapatkan harga sewa kamar yang murah. Tetapi inilah tahapan kehidupan yang harus kami jalani. Beasiswa yang pas-pasan juga menjadikan hidup semakin sulit. Sebagai penghuni baru di Negara Pulau ini, tentu belum ada siapa-siapa yang kami kenal. Sehingga kehidupan terasa semakin sempit. (Bersambung)
Oleh : Pradana Boy ZTF. (Dosen Universitas Muhammadiyah Malang)