MuhammadiyahLamongan.com – Sekiranya minggu lalu, saya dikontak melalui sosial media oleh Pak Suud, Sekretaris umum PCM Modo, tetangga kami desa kelahiran untuk memberikan pesan dan kesan terkait dengan kegiatan Musyawarah Cabang Muhammadiyah di Modo Lamongan tanggal 2 Juni 2023. Muscab ini sejatinya sudah dilakukan kali kedelapan sejak tahun 1960 dimana Cabang Muhammadiyah Modo mulai terbentuk secara formal dan dapat ditelurusi dengan dokumen kearsipan.
Saat ini saya sendiri tidak berada di tanah air dan kampung halaman. Sejak dua tahun yang lalu kami sekeluarga berhijrah ke Jerman untuk memenuhi kewajiban tugas belajar di Ludwig-Maximillian-Universitat (LMU) Munchen. Membaca pesan singkat dari Pak Suud menyiratkan keraguan. Keraguan ini karena secara faktual sejak lulus dari Sekolah Dasar (SD) saya sudah tidak tinggal di kampung halaman karena menjadi anak kost sebagai pelajar hingga kemudian kuliah di Universitas Airlangga Surabaya hingga bekerja sebagai Dosen di tempat yang sama. Praktis banyak kehidupan di kampung halaman yang saya lewatkan.
Ibaratnya, saya tidak tahu bagaimana realita kehidupan kampung halaman, hanya dari kabar dari orang tua dan keluarga dekat. Namun, soal geliat persyarikatan saya justru banyak dari internet. Saya juga mengikuti perkembangan dan juga geliat Muhammadiyah Cabang Modo dan kegiatan rantingnya dari sosial media dan website PWMU.CO tentunya. Sebatas situ. Sehingga jika saya diminta untuk memberikan pesan dan kesan, kok rasanya kurang tepat dan pantas.
Namun jika diminta untuk menuliskan harapan dan pandangan tentang apa yang bisa dipikirkan pengurus Cabang, saya rasa banyak hal yang bisa dituliskan, banyak refleksi yang layak menjadi harapan untuk generasi muda di desa yang menggantungkan hasil agraris dari pertanian dan peternakan. Bagaiamana agar Des aini tetap berkemajuan menghasilkan generasi muda yang “melek” zaman.
Membumikan Narasi Perubahan Iklim di Cabang dan Ranting
Sejak sebelum Pandemi COVID-19 saya mengikuti isu iklim dalam diskursus masyarakat dunia, termasuk bagaimana isu ini kian menemui kebenarannya saat dampaknya mulai dirasakan masyarakat lapisan bawah. Katakanlah musim panen yang tidak bisa ditebak karena curah hujan yang jarang, sumber air yang semakin berkurang atau peningkatan suhu yang menciptakan masalah baru bagi para petani padi. Perlu diketahui, kabupaten lamongan merupakan salah satu lumbung pangan Jawa Timur. Tentu persoalan iklim yang Nampak diawang-awang akan mudah mempunyai dampaknya.
Peringatan hari Perubahan Iklim pada 5 Juni 2023 kemarin menjadi pengingat bahwa kondisi Bumi yang kita tinggali memang sedang tidak baik-baik saja. Seiring perkembangan kesadaran mengenai dampak iklim bagi masyarakat dunia, khususnya generasi muda, semakin banyak aksi protes soal iklim dan lingkungan yang juga terjadi di Indonesia. Sebut saja soal protes warga Wadas dan Kendeng dan juga tempat lain. Walaupun dua protes ini lebih berkaitan dengan isu perusakan ruang hidup dan lingkungan, namun penyebaran informasi yang berkaitan dengan isu iklim dan lingkungan hidup semakin jadi isu penting bagi generasi muda saat ini. Saya yakin dengan perkembangan sosial media yang bisa diakses anak muda di kampung halaman membuat isu ini dapat dijangkau. Minimal sudah pernah mendengar isu ini.
Namun, bagaimana informasi ini membuat anak-anak muda untuk tergerak menjadi bagian perubahan menjaga lingkungan di desa perlu lebih dibumikan. Desa sebagai bagian dari peyangga kehidupan masyarakat kota (urban) punya peran penting, peran penting ini tidak lepas dari kenyataan bahwa generasi muda adalah kelompok yang paling rentan terhdap dampak perubahan iklim. Dampaknya menyangkut ruang hidup, lapangan kerja pertanian yang semakin tidak menjanjikan penghidupan dan mendorong urbanisasi anak muda ke kota-kota besar. Saya termasuk satu dari banyak anak muda desa yang pada akhirnya menyerah untuk mencari penghidupan di kota seperti Surabaya. Apa yang bisa dilakukan lebih jauh oleh Cabang dan Ranting seperti di Modo, Lamongan? Banyak dan penting.
Di tengah situasi ini, organisasi seperti Muhammadiyah memiliki peran penting dalam merespons perubahan iklim. Sebagai organisasi yang memiliki cabang dan ranting yang tersebar luas di Indonesia, Muhammadiyah memiliki potensi besar untuk mempengaruhi masyarakat luas. Diaspora anak muda Muhammadiyah, punya posisi strategis untuk menjadi penghubung antara isu global ini dan gerakan literasi perubahan iklim untuk mendorong peran anak muda di Cabang dan Ranting untuk mulai sadar isu iklim. Harus diakui, isu perubahan iklim masih belum merata diterima di semua kalangan.
Isu ini masih sering dianggap sebagai masalah yang tidak nyata, terutama oleh kelompok-kelompok yang memiliki akses informasi terbatas termasuk di desa dan kawasan pelosok tanah air. Dampak perubahan iklim juga bisa sangat berbeda antara kalangan kaya dan miskin, yang semakin memperlebar kesenjangan pengetahuan dan aksinya. Termasuk kesenjangan wilayah desa dan kota.
Untuk itu, kita perlu membumikan narasi perubahan iklim, membuatnya lebih relevan dan mudah dipahami oleh masyarakat. Kita bisa melakukannya dengan mengaitkan isu perubahan iklim dengan isu lain yang dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat, seperti kesehatan, ekonomi, atau fenomena alam seperti banjir rob di Semarang, bencana kekeringan pangan di beberapa kawasan di Jawa. Atau yang paling dekat dengan keseharian adalah berkurangnya kapasitas sumber air di Sendang (telaga) di desa yang selama ini jadi tumpuan pasokan air. Bahkan berkurangnya debit air di sumur-sumur.
Akhirnya, harapan saya untuk Musyawarah Cabang Muhammadiyah Modo Lamongan memang terkesan „diawang-awang“ namun perlu dipikirkan oleh para pengurus dan pimpinan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh Cabang Muhammadiyah Modo untuk mulai mengajak generasi muda punya kesadaran iklim dan lingkungan yang tinggi. Banyak contoh kegiatan literasi yang sukses mengkaitkan dengan isu perubahan iklim dan lingkungan. Sebut saja gerakan Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) yang digagas oleh Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, David Efendi. Mas David (biasanya saya panggil) adalah aktivis tulen Muhammadiyah dari Godog, Laren Lamongan yang juga Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang punya kesadaran dan aktif mengawal persoalan perusakan lingkungan. Dalam kaitan dengan ini, Pengurus Cabang Muhammadiyah Modo, dapat mengambil ruang untuk juga menciptakan kegiatan-kegiatan literasi lingkungan dan iklim bagi generasi muda di desa.
Perlu peran aktif dari kita semua, termasuk diaspora muda dan cabang serta ranting Muhammadiyah, untuk terus menyuarakan dan menarasikan bahaya perubahan iklim. Pengurus Cabang Muhammadiyah Modo juga punya amal usaha dalam pendidikan yang juga sangat relevan untuk mengawal isu ini. Mulai dari level PAUD/TK, MI, SMP, SMK Pertanian/Peternakan. Yang terakhir rupanya juga termasuk sekolah kejuruan yang cukup jarang di kabupaten Lamongan. Menarik memang merambah bidang AUM yang menjanjikan dari sisi materi namun mengawal isu ini untuk anak-anak muda juga tidak kalah penting. Wallahualambishawab. (*)
Penulis : Ilham Akhsanu Ridlo, menempuh program doktor di Ludwig-Maximilians-Universität München Jerman.