Muhammadiyah Lamongan Berkemajuan

Tuntunan Puasa pada Bulan Ramadhan

Puasa ramadhan adalah salah satu bentuk ibadah yang sudah ditentukan syarat dan rukunya, karenanya terikat dengan berbagai syarat dan ketentuan sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah.

Berbagai pandangan, pendapat, ataupun tafsir dan takwil mengenai tuntunan ibadah puasa pada bulan ramadhan tidak boleh diterima kecuali berdasarkan dalil yang bersumber dari al-Qur`an dan as-Sunnah, penunjukan keduannya.

Dalam buku yang berjudul “Tuntunan Ibadah pada Bulan Ramadhan” yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Buku “saku” panduan singkat dengan 62 halaman ini mengupas tentang tuntunan puasa pada bulan ramadhan.

Pertama, pengertian puasa (Shiyam) menurut bahasa artinya menahan diri dari sesuatu. Puasa menurut istilah adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual suami isteri dan segala yang membatalkan sejak dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat karena Allah. Dasar keharusan niat berpuasa karena Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ… [ البينة (٩٨): ٥].

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyem-bah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus …”[QS. al-Bayyinah (98): 5].

Keharusan menjalankan ibadah puasa dengan niat karena Allah berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw:

ٍعَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى…[أخرجه ابلخاري، كتاب اإليمان].

Artinya: “Dari Umar r.a.(diriwayat-kan) bahwa Rasulullah saw ber-sabda: Sesungguhnya semua perbuatan ibadah harus dengan niat, dan setiap orang tergantung kepada niatnya …” [Ditakhrijkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Iman].

Nabi Muhammad saw bahkan menganggap puasa tidak sah jika tidak didahului dengan niat, demikian dalam hadist berikut:

عَنْ حَفْصَة أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ. .[رواه الخمسة، الصنعاني,١٥٣,٢]

Artinya: “Dari Hafshah Ummul Mu’minin r.a. (diriwayatkan bahwa) Nabi SAW bersabda: Barangsiapa tidak berniat puasa di malam hari sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” [Ditakhrijkan oleh Al-Khamsah, lihat Ash-Shan‘aniy, II, 153].

Kedua, jumlah hari puasa dimulai pada tanggal 1 bulan Ramadhan dan diakhiri pada tanggal terakhir bulan Ramadhan (29 hari atau 30 hari, tergantung pada kondisi bulan tersebut). Untuk itu, maka harus mengetahui awal bulan Ramadhan.

Dasar keharusan mengetahui awal bulan Ramadhan. Sesuai dengan Keputusan Munas Tarjih ke-23 di Padang tahun
2003, Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan Rukyah sebagai pedoman penetapan awal bulan
Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah. Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan berdasarkan firman Allah SWT:

…فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ…[ابلقرة,(٢),١٨٥]

Artinya: “… Karena itu, barang siapa di antara kamu yang menyaksikan bulan Ramadlan itu, maka hendak-lah ia berpuasa pada bulan itu,…” [QS. al-Baqarah (2): 185].

Bulan sebagai acuan dalam penentuan siklus waktu bulanan maupun tahunan diisyaratkan dengan jelas baik dalam al-Qur’an maupun Hadis Nabi saw. Berdasarkan firman Allah SWT :

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ…[يونسَ(٠ ١):٥]

Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan berca-haya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu me-ngetahui bilangan tahun dan perhitu-ngan (waktu).” [QS. Yunus (10): 5].

Sementara, Rasulullah saw dengan tegas menjadikan terlihatnya hilal yang tidak lain adalah tampakan bulan yang terlihat dari bumi sebagai acuan dalam menentukan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal (awal bulan kamariah). hal itu terdapat dalam hadits Nabi Muhammad saw :

عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الۡهِلَالَ وَلَا تُفۡطِرُوا حَتَّى تَرَوۡهُ فَإِنۡ غُمَّ عَلَيۡكُمۡ فَاقۡدُرُوا لَهُ.[رواه ابلخاري و مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar r.a. bahwasanya Rasulullah saw menjelaskan tentang bulan Ramadlan dan berkata: Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihat hilal. Bila awan menutup penglihatanmu maka perkirakanlah (kadarkanlah).” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Ketiga, Hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab hakiki dengan kriteria Wujudul-Hilal. Adapun dalil Firman Allah SWT:

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ [الرمحن(٥٥):٥]

Artinya: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” [QS. ar-Rahman (55): 5]

Fenomena bulan dan matahari sebagaimana dijelaskan di atas, diisyaratkan juga dalam firman Allah SWT:

لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۚ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ[يس(٣٦):٤٠]

Artinya: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing masing beredar pada garis edarnya.” [QS. Yasin(36): 40]

Ingin tahu Tuntunan Ibadah pada Bulan Ramadhan selanjutnya? Ikuti terus di MuhammadiyahLamongan.com.(Rus)

5
Share this article
Shareable URL
Prev Post

8 Hal yang Perlu Dipersiapan Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Next Post

Muhammad Seorang Wirausaha dan Enterpreneurship

Read next
0
Share