Oleh : Irvan Shaifullah
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. (QS Al Anfal: 62)
Musim dingin sedang melanda. Pasukan muslim sedang mengepung Yerusallem. Tahun itu 636 Masehi. Tidak tanggung tanggung, Umar Bin Khattab memerintahkan Abu Ubaidah, Khalid, dan Mu’awiyah yang telah berhasil menaklukan daratan Suriah dan pesisir Levantina, untuk bergabung dalam pengepungan besar itu.
Sedangkan di tengah kota, tepatnya di dalam Gereja Makam Suci, sedang terjadi perdebatan. Panglima Artavon yang berkuasa waktu itu, bersama Uskup Agung Gereja Yerusalem, Patriach Sophronius. Mereka berdua berusaha mencari jalan menyikapi pengepungan pasukan muslim itu.
Dalam tulisan Musthafa Murad tentang kisah Umar Bin Khattab dikisahkan bahwa panglima Artavon berkehendak menyerang balik pasukan muslim dan bertempur habis habisan. Sedangkan Uskup Patriach lebih memilih jalan damai. Sang Uskup percaya jika kedatangan pasukan Muslim adalah penjelmaan dari kehendak Tuhan yang dikirimkan untuk mengakhiri dominasi kekuasaan Bizantium.
Setelah dilakukan voting akhirnya uskup menang dan masyarakat memilih jalan damai dan mempersilahkan pasukan islam untuk menduduki Yerussalem tanpa pertumpahan darah. Dalam nota perjanjian penyerahan Kota Yerusalem, uskup bersama Artavon sepakat untuk menyerahkan seluruh isi kota kepada pasukan Muslimin dengan syarat; tidak ada pengangkatan senjata selama memasuki dan pendudukan kota, mengizinkan sisa-sisa prajurit Bizantium meninggalkan kota dengan damai, dan penyerahan Yerusalem dapat diterima secara langsung oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Pada waktu itu Khalifah Umar sedang berada di Jabiyah, selatan Damaskus untuk menyelesaikan pengaturan administratif. Abu Ubaidah selaku penerima nota tersebut segera menyampaikan kabar gembira kepada Umar dan akhirnya Umar menyanggupi permintaan dalam nota perjanjian itu.
Sejak saat itu, Yerusalem resmi menjadi wilayah kekuasaan Islam. Masyarakat hidup dalam keadaan damai dalam tata tertib islam. Hingga pada suatu ketika Umar ingin pergi ke Yerussalem. Semua warga bersiap siap menyambut sang khalifah datang.
Warga Yerussalem seketika terkejut, karena mendapati khalifah mereka datang sambil mengenakan pakaian lusuh penuh jahitan dengan budak setia yang telah dia merdekakan bernama Aslam. Sambil melangkah dan menuntun untanya, Umar bin Khattab berjalan di tengah-tengah masyarakatnya yang hanya diam menyaksikan kesederhanaan pemimpin.”Lihatkah, sungguh ini adalah kesahajaan dan kegetiran yang telah dikabarkan oleh Danial sang nabi ketika dia datang ke tempat ini,” kata uskup Sophronius usai menyambut kedatangan Umar.Uskup menemani Umar berkeliling mengunjungi tempat-tempat suci di sepanjang kota Yerusalem. Saat masuk waktu zuhur. Uskup Sophronius mempersilahkan Khalifah Umar untuk masuk ke dalam sebuah gereja dan menghamparkan kain suci untuk alas salat. Namun tawaran salat tersebut ditolak Umar. Dia khawatir perbuatannya akan ditiru umat Islam lainnya dan mengubah fungsi gereja menjadi masjid. Umar kemudian meminta uskup untuk mengantarkannya ke bekas reruntuhan kuil Sulaiman yang masih berada di dalam kota Yerusalem.Umar mendapati tempat tersebut tidak menunjukkan bekas reruntuhan, hanya timbunan sampah kotor. Bersama sahabat-sahabatnya, Umar membersihkan tempat itu hingga bersih.Untuk kemaslahatan bersama, akhirnya Umar memerintahkan membangun masjid yang terdiri dari bangunan kayu persegi, kelak dikenal dengan Masjid Umar. Dalam perkembangannya, Masjid Umar beberapa kali mengalami pemugaran hingga akhirnya menjadi bangunan dengan menara setinggi 15 meter seperti saat ini.
Penahlukan Yerussalem itu tanpa pertumpahan darah. Bahkan menjadi wilayah yang damai dalam masa masa Umar Bin Khattab. Yang paling menarik dari kisah diatas adalah betapa sahajanya seorang Khalifah Umar Bin Khattab. Pakaian dengan banyak bekas tambalan dan dia hanya membawa seorang budak yang sudah dimerdekakan. Subhanallah.
Kesahajaan seorang pemimpin itulah sebenarnya yang menjadi kunci Yerussalem ditakhlukkan. Uskup sendiri mengakuinya hingga kemudian ia berpendapat bahwa sudah saatnya bizantyum takhluk oleh islam. Pendapat itu akhirnya menang dan menjadi fakta sejarah, bahwasanya seorang khalifah Umar datang tanpa iring iringan bak seorang raja pada zaman itu. Bahkan pakaiannya pun banyak bekas tambalan.
Sahajanya seorang pemimpin dimata anggota rakyatnya itulah yang menjadi kemuliaan dihadapan Allah dan rakyatnya. Bagaimana tidak? Seharusnya pemimpin itu dikawal oleh ajudan, banyak rombongan, duduk diatas permadani merah, dan dikelilingi oleh prajurit prajurit ternama. Tapi itu tidak dilakukan oleh Umar, termasuk khalifah yang lain. Begitu sahajanya mereka sehingga rakyat merasa tenang dan merasa hormat pada pemimpin mereka.
Ketenangan itulah yang mengarahkan umat menuju keridhaan Allah. Tenang beribadah, tenang berdagang dan lain sebagainya. Sehingga semua tujuan kita hanya diperuntukan untuk Allah.
Kita benar benar merindukan pemimpin pemimpin seperti ini, shalih, bersahaja, dan bertaqwa kepada Allah SWT. Semoga dari dari buku ini lahir umar umar baru di dunia ini. Amin